-->

MEMUTUS IMPUNITAS PERTAMINA DI KARAWANG

 


Sementara itu Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) lewat buku berjudul Ecocide ‘Memutus Impunitas Korporasi’ (2019), menjelaskan tentang memutus impunitas korporasi bukan hanya terjebak dalam penanganan kasus per kasus di hilir tapi juga mengungkap akar mata rantai masalah kasus di level hulunya. Walhi memiliki pandangan bahwa penanganan kasus perkasus tanpa mampu memutus rantai impunitas terhadap kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi, tidak akan banyak mengubah situasi. Secara garis besarnya Walhi menganggap penghancuran lingkungan hidup saat ini, tidak bisa lagi diselesaikan hanya dengan mengandalkan cara-cara penegakan hukum lingkungan biasa.

Lalu apa keterkaitan antara impunitas, Pertamina, dan Kabupaten Karawang?!. Berawal dari Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) pada tahun 1966 antara IIAPCO (Independence Indonesian American Oil Company) dengan Pertamina di Lepas Pantai Utara Jawa Barat (ONWJ). PSC tersebut merupakan yang pertama terkait kontrak karya pertambangan minyak dan gas di Indonesia setelah Negara menerapkan Undang-undang No. 40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.setelah Presiden Soeharto meresmikan lapang migas blok Ardjuna di Echo flow Station, timbul banyak kecelakaan industri disana. Antara lain gagalnya sumur YYA-1 di 7 mil laut lepas pantai Karawang pada 12 Juli 2019 dan yang terbaru adalah bocornya pipa milik Pertamina pada 15 April 2021 disekitar BZZA atau 15 mil laut lepas pantai Karawang. Menurut Pertamina sudah 8 barel minyak yang tumpah (oil spill) ke Laut Jawa dan sebagian mendarat di Pantai Karawang.

Oil spill yang terjadi karena kebocoran pipa disekitar area BZZA diketahui nelayan Karawang semenjak 19 April 2021 mengapung disekitar daerah tangkapan nelayan Pasir Putih dan Ciparage. Tanggal 21 April oil spill sudah sampai disekitar daerah tangkapan nelayan Sungaibuntu serta sudah terdampar di pantai antara Desa Cemarajaya dan Desa Sedari.

Belum hilang dari ingatan masyarakat nelayan Kabupaten Karawang ketika selama 72 hari (12 Juli – 21 September 2019) oil spill dari YYA-1 menurunkan hasil tangkapan mereka. Menurut laporan Koalisi Masyarakat Sipil Karawang (KMSK) dan Greenpeace Indonesia, menyebutkan nelayan udang di Karawang mengalami kerugian Rp. 1,6 juta – Rp. 9,2 juta perhari dan nelayan rajungan merugi Rp. 900 ribu – Rp. 1,6 juta perhari setelah seminggu terjadinya oil spill.

Selain berkurangnya hasil tangkapan nelayan udang dan rajungan, oil spill YYA-1 juga meningkatkan ancaman abrasi di pesisir Karawang. Masih menurut laporan KMSK dan Greenpeace Indonesia, ketebalan kontaminasi oil spill di pesisir Kecamatan Cibuaya merupakan yang tertinggi yaitu 39 cm dari ketebalan pasir 50 cm, dan meningkatkan risiko abrasi karena tingginya laju sedimen transpor05 Juni 2020 atau hampir setahun pasca oil spill YYA-1 terjadi banjir rob besar di sepanjang pantai Kecamatan Cibuaya, banjir rob tersebut mengakibatkan 20 rumah roboh di Desa Cemarajaya.

Selama terjadinya oil spill YYA-1 (12 Juli – 21 September 2019) tercatat ada 2 kematian lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) yaitu pada tanggal 15 Juli 2019 di pantai Sungaibuntu dan tanggal 17 Agustus 2019 di perairan Cilebar. Setelah kebocoran YYA-1 tertangani, bukan berarti oil spill telah hilang dari perairan Karawang. Namun terjadi beberapa kejadian oil spill mengapung di perairan serta terdampar di pantai Karawang setelahnya, bahkan terjadi lagi kematian mamalia laut. Pertama ditemukannya bangkai Pesut (Orcaella brevirostris) di pantai Tangkolak Barat pada 02 Januari 2020 dan kedua pada 20 April 2020 di perairan Sarakan.

Kejadian-kejadian yang terus berulang dan berlarut-larut tersebut tidak pernah sampai ke peradilan, bahkan untuk di audit oleh Pemerintah Indonesia saja tidak pernah. Mengutip penjelasan Walhi dalam buku ‘Ecocide’, rezim hukum saat ini masih memungkinkan negara dan perusahaan untuk merampas lingkungan hidup dan sumberdaya alam dengan impunitas. Bahkan Kontras dalam buku Menolak Impunitas, bertanya-tanya kenapa kata ‘impunity’minim penggunaannya diruang publik Indonesia. Seakan impunitas tidak memiliki akar ke-Indonesiaan, atau dianggap hal lumrah sehari-hari di Negara ini dimana yang salah harus dilindungi bukan dihukum untuk menimbulkan efek jera.

Penulis || Willy Firdaus, WI 170016 (Direktur Wartapala KP Karawang)

Jalan penghubung Desa Cemarajaya rusak diterjang abrasi dan
Jalan penghubung Desa Cemarajaya rusak diterjang abrasi

Sumber : wartapalaindonesia.com

0 Response to "MEMUTUS IMPUNITAS PERTAMINA DI KARAWANG"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Nih buat jajan

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel